Menjajal ”Community Marketing”

Saturday, December 01, 2007



Teman-teman…kali ini sekedar sharing problem saja yah...

Terus terang saat ini saya bersama beberapa teman sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi business plan yang diadakan oleh NUS (National University of Singapore) Business School. Niatnya memang hanya untuk mencari tambahan pengalaman saja. Toh, gratisan ini.

Nah, masalahnya adalah kasus yang ditawarkan jujur saja bukan merupakan bidang yang kami kuasai atau minati. Pilihan kasusnya ialah tentang bar yang menjual minuman keras, bisnis wellness (perawatan tubuh dan kesehatan yang terintegrasi) serta terakhir bisnis ikan hias ”Dragon Fish”. Kita diminta untuk membuat rencana strategi untuk pengembangan perusahaan-perusahaan Singapura ini di Indonesia. Yang pasti memang pilihan pertama sudah langsung dicoret dari pilihan kita, karena satu hal...haram bro. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba kasus bisnis wellness. Pertimbangan utamanya, bisnis ini sudah ada di Indonesia dan akses untuk mendapatkan sample datanya lebih mudah dibandingkan dengan ikan hias ”Dragon Fish” yang kami masih belum tahu bentuk dan keunggulannya dimana.

Bisnis wellness sendiri sebetulnya bisnis yang mencoba untuk mengintegrasikan antara perawatan tubuh dan kesehatan. Contoh layanan yang ditawarkan adalah jasa pelangsingan tubuh, perawatan kulit dan rambut, spa, pijat refleksi dan totok aura, fitness, perawatan kesehatan dengan menggunakan bahan-bahan alami, dan sebagainya. Bisnis ini tergolong prospektif, terutama di kalangan masyarakat perkotaan, yang sehari-harinya banyak berhadapan dengan pencemaran udara yang parah, junk food, stress dan keterbatasan waktu untuk berolahraga.

Nah, terus terang masalah belum berakhir setelah kami menentukan tema ini. Dengan jadwal yang ketat, dimana tanggal 9 Desember ini kami sudah harus menyerahkan Executive Summary, maka otomatis saat ini kami yang baru terbentuk kurang dari 1 mingguan harus mengejar waktu. Sempat brainstorming sebentar kemarin, saat ini saya hanya berusaha untuk menuliskannya kembali supaya tidak berceceran.

Konsep yang sempat mengemuka di dalam brainstorming adalah konsep community marketing. Konsep ini hitungannya memang bukan konsep baru, akan tetapi memang belum dikembangkan lebih lanjut dalam riset yang komprehensif di Indonesia. Bayangan kami, konsepnya akan mirip dengan amazon.com, yang di awal berdirinya merancang situsnya sebagai komunitas pencinta buku, dan bukannya para pembeli buku secara individual. Amazon memfasilitasi dan mendorong anggotanya untuk saling berinteraksi dan memberikan layanan pelanggan yang melibatkan secara penuh anggota komunitas. Para anggota komunitas Amazon dapat memilih buku yang mereka inginkan secara lebih mudah, mendiskusikan buku-buku yang baru terbit dengan menulis resensi dan memberikan rating, dan mendapatkan rekomendasi buku-buku lain dari anggota komunitas. Differensiasi berbasis komunitas yang menjadi diferensiasi utama Amazon.com adalah kunci keunggulannya dibandingkan kompetitornya.

Contoh di Indonesia sendiri, seperti yang tercantum di majalah SWA kemarin ialah komunitas B2W (Bike to Work), Communicator, Harley-Davidson, Jakarta Mio Club, Bango Mania, dan sebagainya. Bahkan untuk urusan bisnis pun, kita saat ini mendapati komunitas-komunitas seperti TDA (Tangan Di Atas) dan Bismart (Bisnis Smart). Rata-rata komunitas yang ada adalah komunitas yang independen dan bukan hasil bentukan dari suatu perusahaan. Fenomena ini salah satunya didorong oleh kemajuan teknologi informasi yang pesat, kian masifnya pemanfaatan internet dan ponsel yang kian cerdas, dan terus berkembangnya teknologi jaringan sosial, seperti friendster dan blog.

Hermawan Kartajaya bahkan menyebut fenomena komunitas ini sebagai channel yang terbaik dalam pemasaran di dunia yang semakin emosional dan interaktif, yang mengambil istilah-nya John Gray, Bumi yang menjadi seperti Venus, yang dianalogikan sebagai asal dari wanita. Komunitas bertindak satu sama lain atas dasar saling percaya, yang terbentuk karena adanya proses relasi yang intens dan panjang. Secara emosional memang penduduk Venus paling suka berinteraksi satu sama lain dan membentuk komunitas.

Nah, lalu apa kaitannya dengan bisnis wellness? Yang paling pertama, perawatan tubuh dan kesehatan seakan sudah menjadi fitrah dari penduduk Venus. Parameter sederhananya, coba saja hitung waktu yang dibutuhkan oleh wanita untuk berdandan bila dibandingkan dengan pria. Oleh karena itu pendekatan berbasis komunitas akan sangat cocok sekali dilakukan di sini. Bagaimana perusahaan nantinya meng-create komunitas yang mampu memfasilitasi diskusi antara member-nya terkait dengan perawatan tubuh dan kesehatan serta tema-tema kewanitaan lainnya, akan menjadi kunci sukses. Patut diingat bahwa sedapat mungkin komunitas nantinya tidak terjebak dengan tema pembahasan yang sempit pada perawatan tubuh dan kesehatan saja, akan tetapi bisa dikembangkan tema-tema lain sebagai variasi untuk meningkatkan hubungan emosional di antara member.

Kedua, komunitas nantinya akan sangat berguna apabila perusahaan ingin mengembangkan marketnya ke kalangan pria. Premis Hermawan, pria sudah semakin menjadi seperti wanita, bukan dalam hal orientasi seks atau kehilangan maskulinitas, akan tetapi pria yang semakin emosional. Pria yang semakin mampu mengekspresikan emosi dan perasaannya. Sedikit penggambaran, pria sebenarnya sangat sulit untuk merangkai kata-kata dan mengungkapkan perasaan. Selain itu, pria adalah sosok yang sulit untuk memecah konsentrasi dan ngobrol dengan beberapa orang sekaligus karena mereka perlu berkonsentrasi penuh. Akan tetapi, karena pria lebih banyak mengandalkan mata, teknologi internet mengakomodasi mereka untuk bisa menangkap banyak informasi sekaligus, tanpa kehilangan fokusnya serta untuk menggantikan fungsi kata-kata dengan tulisan atau gambar. Inilah yang membuat insting pria semakin terasah dan otomatis jiwa emosionalnya semakin berkembang. Keberadaan komunitas, bila digunakan secara tepat, akan mampu membuat pria melewati ”barrier psikologis”nya untuk saling berkomunikasi tentang masalah kesehatan dan juga kondisi tubuhnya.

Hanya saja, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dengan konsep ini.

Yang pertama, komunitas adalah sebuah entitas yang menjunjung nilai independensi. Perusahaan tidak bisa begitu saja mengkooptasi anggota komunitas sebagai konsumen loyal mereka. Benchmarking dan perbandingan akan selalu menjadi tema utama dari anggota komunitas sehingga perusahaan tidak bisa dengan vulgarnya mencap bahwa perusahaan mereka adalah yang terbaik bagi anggota komunitas. Ambil contoh, komunitas Honda Jazz yang acap kali merekomendasikan membernya satu sama lain untuk mengambil alternatif lain di luar bengkel resmi Honda. Oleh karena itu, kalaupun perusahaan mau mempromosikan dirinya, ia harus melakukannya dengan sangat halus. Contoh kasus, Polygon yang sering mensponsori acara-acara B2W (Bike To Work), hingga terakhir membuat sebuah merk khusus, B2W untuk produk sepedanya.

Yang kedua, penggunaan community marketing sebagai strategi marketing belumlah cukup. Kelemahan dari community marketing adalah karena mengandalkan WOM (Word Of Mouth) di kalangan anggotanya, maka pola penyebarannya benar-benar bergantung pada mobilitas dan militansi dari member-nya. Bila member yang ada hanya berasal dari kalangan tertentu saja yang jarang berinteraksi dengan kalangan lain, maka akan sulit diharapkan bahwa community marketing akan berhasil. Atau, kalau mengambil istilahnya Malcolm Gladwell, dalam bukunya Tipping Point, perlu ada tipe Connectors, Maven dan Salesmen untuk mengefektifkan WOM.
Makanya, selain community marketing perlu dipikirkan juga nantinya terkait strategi komunikasi marketing yang lain.

Selain masalah-masalah di atas, kami juga masih menghadapi masalah terkait seberapa prospektif sebetulnya pasar bisnis wellness di Indonesia, siapa saja pemain-pemain utamanya sekarang, seberapa besar market share mereka, seberapa besar tingkat brand awareness-nya sekarang dan hal-hal lain yang membutuhkan data mentah. Saat ini, kami masih bingung kemana mencari data mentahnya. Yah, mungkin ada di antara teman-teman yang sempat membaca blog ini yang bisa memberi saran kemana harus mencarinya. Mungkin ada link ke Dep. Industri atau AC Nielsen atau sebagainya....:)

Waduh, sepertinya menulisnya sudah kepanjangan. Mohon maaf karena masih belum terstrukturisasi dengan baik postingan ini. Maklum yang membuat masih belajar. Lagipula, memang maksud utamanya untuk mendokumentasi brainstorming yang berceceran agar bisa dimanfaatkan kembali suatu waktu. Jadinya, benar-benar seperti storm (badai) deh...

4 comments:

Anonymous said...

Hmm. menarik nih Bang
kalau ada sharing lebih lanjut tentang community marketing, boleh nulis lagi :)

salam kenal

zainuri said...

Tulisan mas budi bagus banget. Pas banget, kebetulan kantor gw barusan buat training "new wave marketing" intinya sekarang sudah terjadi perubahan paradigma, yang dulunya konsep komunikasi vertical (one to many) sekarang sudah many to many (horizontal)

Salam, Jay
zainuri@indonesia5.com

budi herprasetyo said...

salam kenal mas budi.
mau sharing sedikit. Menurut pengalaman, community marketing sangat cocok untuk digunakan dalam bidang jasa. Problemnya adalah kita perlu membuat satu sistem yg bekerja untuk memantau aktivitas member. Kita juga perlu men-touch mereka. Dari hati ke hati bahkan. Sebaiknya kita menggunakan dulu komunitas yg sudah ada. Karena membangun komunitas cost-nya juga tdk sedikit.Nah, karyawan yg anda butuhkan adalah bertipe misionaris.
mungkin segitu dulu sharingnya.

thanks a lot

salam sempurna !

survive's Blog said...

Selain untuk perusahaan jasa, saya mengamati operator selular seperti indosat dan telkomsel juga melakukan strategi promosi melalui komunitas, seperti indosat im3 goes to campus. Kalau untuk produk seperti motor atau mobil sih menurut saya cukup efektif, akan tetapi saya sedang melakukan riset untuk pengaruh community marketing terhadap brand loyality produk IM3 td.

Showreel Rumah Video

Testimonial tentang Audio Visual



Abu Sangkan – Trainer “Shalat Khusyu”
“Peran media audio visual sangat efektif dalam penyampaian da’wah-da’wah saya.”

Adha Muawiyah – Line Producer “Sinemart”
“ Video Company Profile sangat efektif dan efisien untuk memperkenalkan citra perusahaan kita lebih cepat. Klien maupun investor dapat lebih jelas mengetahui apa yang dia inginkan atau tuju pada perusahaan kita.”

Wuryanano – CEO PT Swastika Prima International, Direktur Lembaga Pendidikan Profesi SWASTIKA PRIMA Community College, Founder Super Mind Power Training, Penulis Buku Best Seller
“Dengan memiliki perangkat bisnis pada media Audio Visual ini, maka akan semakin meningkatkan performa bisnis dan perusahaan kita. Produk dan jasa kita pasti semakin bagus dalam pelayanan dan kualitasnya.”

Hidayatullah – Direktur PT Selaras Inti Prima Indonesia
“Media audio visual yang sangat efektif dalam membantu kinerja marketing kami, serta menjadi added value tersendiri untuk perusahaan kami.”

Note :
Alhamdulillah, materi untuk casing CD Showreel Rumah Video sudah selesai. CD ini sendiri berisikan portofolio produk-produk yang pernah kami hasilkan, mulai dari Video dokumentasi, Video profile, CD interaktif, Website, Clip&Commercial, Video Promo.Semoga bisa menjadi salah satu wahana untuk beramal lebih bagi kami. Terima kasih sebesar-besarnya kami haturkan untuk semua pihak yang dengan sukarela telah memberikan testimonialnya. Hanya Allah jualah yang bisa membalas-Nya.